Ia memandangi testpack itu, pikirannya berkecamuk. Bagaimana kalau hasilnya positif? Bagaimana masa depanku ? Bagaimana kalau aku diusir dari sekolah ? Apa kata tetangga? ibuku pasti menangis.. ibu satu-satunya orangtuaku kini ... bagaimana perasaan ibu? Aku mencoreng nama baik keluarga, aku membuat malu keluarga ... bagaimana bila ia tidak mau bertanggung jawab, bagaimana bila aku harus mengurus bayiku sendiri, lalu ia tumbuh tanpa ayah? Tidak! Aku tidak boleh hamil ... masa depanku akan hancur ... aku masih ingin sekolah, aku ingin bekerja dan membuat bangga ibuku. Aku tidak boleh hamil!
Ia ketakutan. Air matanya mulai mengalir. Ia menarik nafas dalam-dalam untu mengumpulkan energinya. Dengan tangan bergetar, strip testpack dicelupkan pada urinenya yang ia tampung dalam sebuah wadah kecil. Detik-detik berjalan bagai bertahun-tahun lamanya. Air matanya terus mengalir dan tangannya masih saja bergetar. Satu menit kemudian ... dua garis merah!
Ekspresi wajahnya menegang. Ia kembali melihat garis-garis itu, berharap apa yang dilihatnya salah. Tak berubah. Dua garis ... dua garis! Ia bersandar lemah di dinding kamar mandi. Tubuhnya merosot. Badannya mengigil. ia memeluk lututnya erat. Butiran air matanya deras mengalir. Ia menangis dan terus menangis...
Ia seperti diempaskan ke dalam jurang kenyataan. Begitu terpukul, begitu kacau. Tak tahu harus berbuat apa ... tak tahu bagaimana cara menjelaskan kepada ibunya ... Aborsi? Bagaimana dengan aborsi? Aku akan sakit sebentar saja, lalu keadaan kembali normal. Aku bisa kembali melanjutkan hidupku. Tidak! Aku tidak boleh membunuhnya, apapun yang terjadi!
Ia kembali menangis. Napasnya mulai tersengal-sengal. Jiwanya terguncang. Seketika rasa penyesalan berjejalan di dadanya. Malam itu, ia memutuskan untuk memberitahukan keadaanya kepada ibunya. Ibu yang begitu ia cintai. Ibu yang ditinggal pergi oleh suami yang tak bertanggung jawab ketika ia dan adik-adiknya masih duduk di bangku SD. Ibu yang menjadi single parent untuk ia dan kedua adiknya, yang pergi dini hari dan pulang larut malam untuk menafkahi anak-anaknya. Tubuhnya bergetar. Ia benar-benar tak sanggup mengatakannya. Hening. Tak terdengar sepatah kata pun. Ia tak bisa membayangkan betapa hancurnya perasaan orang yang paling dicintainya itu.
Ibunya menunggu lama dalam diam. menerka-nerka apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh anak sulungnya ini. Sementara itu, di dalam hati si anak ada raungan yang menerjang-nerjang. Aku anak yang tidak patut lagi Ibu banggakan ... bukan kakak yang bisa menjadi panutan ... aku membuat Ibu dan adik-adik malu ... aku menghujamkan luka ke dada kalian ... aku tak tahu diri, tak pantas menjadi anak Ibu!
Seluruh teriakan dalam hatinya rasanya ingin sekali ia keluarkan, tapi ia tak bisa melakukannya! Mulutnya seperti terkunci. Sulit sekali untuk mengeluarkan kata-kata. Ia menunduk, tak berani menatap wajah ibunya yang sudah tak muda lagi.
Ia menarik napas dalam. Ia sadar kalau ia harus mengatakannya. Perlahan, ia membuka bibirnya yang bergetar, "Saya ... hamil ..." Suaranya parau. Sedetik kemudian, ia bersimpuh di kaki Ibunya. Air matanya tumpah. Ia sadar bahwa pengakuannya bagaikan halilintar yang menyambar manusia paruh baya itu. Ia memegang erat kaki ibunya, lalu berkata, "maafkan saya, Bu ..." Ia tak bisa berkata apa-apa lagi. Begitu pula ibunya. Tak ada suara diruangan itu, kecuali isakan pedih dari seorang anak dan ibu ...
Teman kecilku ini tersenyum sambil menimang bayinya yang tertidur nenyak dalam dekapannya. "Kami sedang mengurus proses cerai, Ki" ucapnya pelan. Ia berusaha menghalau duka yang terbias diwajahnya. "Yang kupikirkan sekarang adalah mengurus anakku ini," ucapnya tersenyum seraya memandang bayi mungilnya. "Kejarlah cita-citamu. Sekolah setinggi mungkin ... Jangan salah melangkah seperti aku." Ia mengucapkan sembari menatapku dalam ... dengan mata yang berkaca-kaca. Mataku hangat. Basah.
Note's from OSD :
BANGKIT DAN KEJARLAH CITA-CITAMU!
Dengan begitu banyak kejadian disekitarku yang kulihat dan kudengar, membuat aku merenung bahwa fenomena muda-mudi yang tergelincir karena pergaulan memang bukan hal baru. Kenyataan ini terus terjadi dan akan terus terjadi sampai Allah memusnahkan alam semesta ini.
Fenomena ini bisa menimpa siapa saja, muda-mudi "nakal" hingga muda-mudi yang dianggap saleh sekalipun. Mereka yang suka bolos sekolah hingga mereka yang menjadi bintang kelas. Mereka yang berasal dari kelas sosial atau latar belakang keluarga mana pun, semua bisa mengalami hal ini.
Teman bermain masa kecilku, yang kutahu adalah seorang anak rumahan, tidak pernah "keluyuran" kemana-mana, harus mendapati kenyataan bahwa 3 bulan sebelum ujian nasional ia tengah mengandung! Usianya baru 17 tahun kala itu. Lama tak datang bulan membuatnya memberanikan diri membeli test pack di supermarket. Begitu sampai dirumah, ia mengunci pintu kamar mandi rapat-rapat, tangannya bergetar dan dari mulutnya deras mengalir doa agar hasil test pack itu negatif. Jantungnya berdegup kencang. Keringat dingin mengucur di dahinya. Ia tak berani. Terbayang seketika apa yang sudah dilakukan bersama pacarnya setiap kali Ibu dan adik-adiknya tidak ada dirumah. Setiap rumahnya kosong. Perbuatan yang dilakukan berulang-ulang. Ya, berulang-ulang karena ternyata ia tak mampu membendungnya ketika mereka sudah bertemu. Setelah itu, ia dikeluarkan dari sekolah, hamil di luar nikah, dinikahi oleh sang pacar, lalu diceraikan begitu saja.
Manusia lemah mana yang sanggup menanggung beban semuanya sekaligus? Dosa yang begitu berat, harga diri yang terenggut, kehancuran masa depan, rasa malu, hamil di bawah umur, lalu dicerai dan ditinggalkan.
banyak manusia yang akan kembali kepada Rabb-nya dalam impitan keadaan seperti itu, tetapi ada juga yang justru kian menjauh. Dan bukankah Allah itu Maha Penyayang, Maha Pemberi Ampunan? Dia tetap Maha Penerima Tobat, baik saat kita berlari menjauh atau berlari mendekat, atau saat kita berjalan menemui-Nya ...
Saat ia menceritakan itu ku lihat rasa penyesalan dan kesedihan yang mendalam. Keterpurukan begitu jelas terlihat. Tak lama setelah perceraian itu, ia pergi bersama ibu dan adiknya untuk pindah ke ;uar kota. Sejak itu, aku kehilangan kontak dengannya. Terakhir kali bertemu, aku tak tahu apa ia masih punya kekuatan untuk melanjutkan hidup. satu-satunya yang kulihat bergelayut di kedua matanya hanya keputusasaan dan duka yang sangat dalam.
Terkadang Allah menegur kita dengan cara yang paling halus, untuk memperingati kita agar tak semakin terjerumus. Lima tahun setelah kejadian itu, suatu siang, temanku itu menelpon, dan aku begitu gembira mendengar kabarnya sekarang.
"Kamu ingat apa yang aku bilang sama kamu terakhir kita ketemu?"
Suara dari balik telepon itu memulai percakapan dengan riang. Aku terdiam. Kuputar memoriku ke masa lima tahun silam. Gagal. Yang kuingat adalah air mata dan kata-katanya yang harus membesarkan anak tanpa suami.
"Mungkin kamu lupa Ki, ... tapi kelihatannya kamu menjalankan kata-kataku, deh ..." ku dengar suara tawa di seberang sana.
"Aku bilang kejarlah cita-citamu, sekolah setinggi mungkin ... ingat nggak?" tanyanya renyah. Aku terseyum sendiri, tak berujar apa pun. Ya, aku ingat dia pernah mengucapkan itu, meski dengan wajah sendu.
Pembicaraan ditelepon itu membuatku jadi tahu bahwa ia bukanlah perempuan biasa. Ternyata, sejak berpindah kota, ia memang sempat berhenti sekolah selama dua tahun untuk mengurusi anaknya dan membantu perekonomian keluarganya. Tetapi dari sanalah ia mulai merintis bisnis kerudung dan baju muslim kecil-kecilan.
Lima tahun berjalan, ternyata bisnisnya cukup mendulang sukses. Bahkan, pesanan baju mulai berdatangan dari negara-negara lain, seperti Singapura, Malaysia, Hongkong, dan Australia. Ia tak punya toko. Ia hanya memanfaatkan tren bisnis online. Bisnis online membuatnya memiliki banyak waktu di rumah untuk terus menemani anaknya, dan tidak perlu mengeluarkan uang untuk sekedar menyewa tempat atau membayar gaji pegawai.
Ia juga telah menamatkan sekolahnya meski dengan paket C, dan sekarang sedang kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di kotanya.
"Aku ngambil ekonomi, Ki. Beberapa semester lagi lulus, terus mau kuliah manajemen bisnis karena ilmunya akan bermanfaat sekali untuk kerjaanku ini. Cita-citaku jadi wirausaha, alhamdulillah tercapai, Ki. Omsetnya lumayan banget, cukup untuk kami sekeluarga. Cukup untuk sekolahku dan adik-adik-ku."
Ia melesat jauh sekali. Apa yang sudah dialaminya tak menghentikannya untuk terus mengejar apa yang pernah ingin ia kejar: melanjutkan sekolah dan menjadi seorang wirausahawati. Ia tidak pernah menghabiskan sisa hidupnya untuk mengeluh dan mengaduh. Ia kelola hidupnya untuk bekerja dan mencipta. Ia bangkit dari keterpurukan, kembali menata ulang hidupnya dan mengejar cita-citanya.
Lihatlah ... Allah selalu ada, selalu menemani, bahkan setelah miliaran dosa yang diperbuat tangan dan kaki hamba-Nya. Allah selalu hadir dengan kasih sayang-Nya, mendampingi hamba-Nya, dalam keadaan paling buruk sekalipun. Dan Allah selalu menerima, kapan pun seorang hamba ingin kembali kepada-Nya.
Di belahan bumi sana, atau mungkin di tempat lain, kisah seperti ini bisa terjadi kepada siapa saja. Saat nafsu mengalahkan kehormatan, dan akhirnya melunturkan iman, lalu penyesalan datang membawa manusia pada keterpurukan, seolah semua harapan musnah dan tak bersisa sedikitpun kekuatan. Pada saat seperti itu, kemudian Allah menegurnya. Terkadang aku berpikir ... andai Allah tak memberinya kehamilan, mungkin akan selamanya ia berbuat zina karena tak pernah sadar. Jika Allah tak membuatnya dikeluarkan dari sekolah, mungkin ia takkan pernah belajar dari kesalahannya dan tak pernah menata ulang hidupnya.
Keterpurukan dan kehinaan pernah merenggut semangat hidup temanku ini, tapi tidak untuk selamanya. perlahan ia mengumpulkan kekuatan dan berniat memperbaiki kesalahan. Ia bangkin dengan kekuatan yang lebih besar dan memulai kehidupan di jalan yang benar. Ia berusaha memperjuangkan hidupnya, kembali bermimpi dan meraih cita-citanya. Lalu Allah melihat kesungguhannya, mendengar doa-doanya, dan mengembalikan kebahagiaannya. Renungan untukku .. betapa kasih sayang Allah tak pernah habis ... bahkan disaat kita terlalu sering melupakannya...
banyak manusia yang memilih lebih menjauh dari Allah dalam keadaan sulit. Marah karena Allah memberinya musibah, keterpurukan dan kesulitan besar. Lalu mereka menjauh dan semakin menjauh. Tetap setelah itu, hidupnya malah semakin terpuruk, hancur, karena tak pernah lagi mempunyai kekuatan untuk bangkit, tak pernah lagi bermimpi, mati sebelum jasadnya mati, mati sebelum kehilangan nyawa, mati sebelum 'izrail datang menemuinya...
Berbeda dengan orang yang mau bangkit, mendekat kepada Rabb-nya, berusaha memperbaiki kesalahan, menutup masa lalu, dan menghapus kekhilafan. Ia sadar bahwa Allah menegurnya, agar tak terpuruk selamanya, agar tak terus melakukan perbuatan dosa hingga akhir hayatnya. Mereka kembali menata hidup, berjaan di antara kebenaran, kembali bangkit, kembali bermimpi!
Ada sebuah riwayat mengatakan bahwa ketika Allah menciptakan manusia di bumi ini, Allah sertakan juga harapan dalam jiwanya agar manusia selalu bangkit dan tidak putus asa. ketika Allah ciptakan masalah, Allah selalu ciptakan solusinya. Ketika Allah menciptakan duka, Allah juga sertakan suka. Ini sama seperti ketika Allah menciptakan neraka, Allah juga menyiapkan surga di akhirat sana. Tak ada alasan untuk berhenti dan kehilangan cita-cita.
Bukankan masalah datang dengan solusinya, sehingga tak ada alasan untuk berhenti dan kehilangan cita-cita? Bukankah berkarya adalah hak tubuh kita, ketika otak mengintruksikan kepada tangan dan kaki untuk menciptakan prestasi, lalu memerintahkan hati untuk tak berhenti bermimpi? kekuatan besar memang terletak pada mereka yang berhasil terhindar dari kesulitan, dari keterpurukan dan kehancuran. Akan tetapi, kekuatan yang lebih besar, justru terletak pada mereka yang bisa bangkit setelah kehancuran dan keterpurukan.
Laa Haula wa laa quwwata illaa billaah ...
"BERBAHAGIALAH KETIKA KAMU BERADA DI TITIK TERENDAH DALAM HIDUPMU, KARENA TIDAK ADA LAGI JALAN UNTUKMU SELAIN KE ATAS"
Ia juga telah menamatkan sekolahnya meski dengan paket C, dan sekarang sedang kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di kotanya.
"Aku ngambil ekonomi, Ki. Beberapa semester lagi lulus, terus mau kuliah manajemen bisnis karena ilmunya akan bermanfaat sekali untuk kerjaanku ini. Cita-citaku jadi wirausaha, alhamdulillah tercapai, Ki. Omsetnya lumayan banget, cukup untuk kami sekeluarga. Cukup untuk sekolahku dan adik-adik-ku."
Ia melesat jauh sekali. Apa yang sudah dialaminya tak menghentikannya untuk terus mengejar apa yang pernah ingin ia kejar: melanjutkan sekolah dan menjadi seorang wirausahawati. Ia tidak pernah menghabiskan sisa hidupnya untuk mengeluh dan mengaduh. Ia kelola hidupnya untuk bekerja dan mencipta. Ia bangkit dari keterpurukan, kembali menata ulang hidupnya dan mengejar cita-citanya.
Lihatlah ... Allah selalu ada, selalu menemani, bahkan setelah miliaran dosa yang diperbuat tangan dan kaki hamba-Nya. Allah selalu hadir dengan kasih sayang-Nya, mendampingi hamba-Nya, dalam keadaan paling buruk sekalipun. Dan Allah selalu menerima, kapan pun seorang hamba ingin kembali kepada-Nya.
Di belahan bumi sana, atau mungkin di tempat lain, kisah seperti ini bisa terjadi kepada siapa saja. Saat nafsu mengalahkan kehormatan, dan akhirnya melunturkan iman, lalu penyesalan datang membawa manusia pada keterpurukan, seolah semua harapan musnah dan tak bersisa sedikitpun kekuatan. Pada saat seperti itu, kemudian Allah menegurnya. Terkadang aku berpikir ... andai Allah tak memberinya kehamilan, mungkin akan selamanya ia berbuat zina karena tak pernah sadar. Jika Allah tak membuatnya dikeluarkan dari sekolah, mungkin ia takkan pernah belajar dari kesalahannya dan tak pernah menata ulang hidupnya.
Keterpurukan dan kehinaan pernah merenggut semangat hidup temanku ini, tapi tidak untuk selamanya. perlahan ia mengumpulkan kekuatan dan berniat memperbaiki kesalahan. Ia bangkin dengan kekuatan yang lebih besar dan memulai kehidupan di jalan yang benar. Ia berusaha memperjuangkan hidupnya, kembali bermimpi dan meraih cita-citanya. Lalu Allah melihat kesungguhannya, mendengar doa-doanya, dan mengembalikan kebahagiaannya. Renungan untukku .. betapa kasih sayang Allah tak pernah habis ... bahkan disaat kita terlalu sering melupakannya...
banyak manusia yang memilih lebih menjauh dari Allah dalam keadaan sulit. Marah karena Allah memberinya musibah, keterpurukan dan kesulitan besar. Lalu mereka menjauh dan semakin menjauh. Tetap setelah itu, hidupnya malah semakin terpuruk, hancur, karena tak pernah lagi mempunyai kekuatan untuk bangkit, tak pernah lagi bermimpi, mati sebelum jasadnya mati, mati sebelum kehilangan nyawa, mati sebelum 'izrail datang menemuinya...
Berbeda dengan orang yang mau bangkit, mendekat kepada Rabb-nya, berusaha memperbaiki kesalahan, menutup masa lalu, dan menghapus kekhilafan. Ia sadar bahwa Allah menegurnya, agar tak terpuruk selamanya, agar tak terus melakukan perbuatan dosa hingga akhir hayatnya. Mereka kembali menata hidup, berjaan di antara kebenaran, kembali bangkit, kembali bermimpi!
Ada sebuah riwayat mengatakan bahwa ketika Allah menciptakan manusia di bumi ini, Allah sertakan juga harapan dalam jiwanya agar manusia selalu bangkit dan tidak putus asa. ketika Allah ciptakan masalah, Allah selalu ciptakan solusinya. Ketika Allah menciptakan duka, Allah juga sertakan suka. Ini sama seperti ketika Allah menciptakan neraka, Allah juga menyiapkan surga di akhirat sana. Tak ada alasan untuk berhenti dan kehilangan cita-cita.
Bukankan masalah datang dengan solusinya, sehingga tak ada alasan untuk berhenti dan kehilangan cita-cita? Bukankah berkarya adalah hak tubuh kita, ketika otak mengintruksikan kepada tangan dan kaki untuk menciptakan prestasi, lalu memerintahkan hati untuk tak berhenti bermimpi? kekuatan besar memang terletak pada mereka yang berhasil terhindar dari kesulitan, dari keterpurukan dan kehancuran. Akan tetapi, kekuatan yang lebih besar, justru terletak pada mereka yang bisa bangkit setelah kehancuran dan keterpurukan.
Laa Haula wa laa quwwata illaa billaah ...
"BERBAHAGIALAH KETIKA KAMU BERADA DI TITIK TERENDAH DALAM HIDUPMU, KARENA TIDAK ADA LAGI JALAN UNTUKMU SELAIN KE ATAS"