Minggu, 30 Juni 2013

perdebatan sedarah

         sore itu aku seperti dihadapkan oleh sesuatu yang mengajak-ku untuk meredakan tangis-mu. ku lihat bibir-mu bergetar seolah tak sanggup menahan luapan emosi di dalam hati-mu yang tengah berguncang. kau terus berbicara sementara aku hanya bisa menatap-mu saja.
        aku sadar betul pembicaraan ini tidak bermuara ke mana. karenanya aku hanya bisa diam seolah bersikap tegar meski sebetulnya aku jauh lebih terguncang dan teriris mendengar setiap peraduan-mu. hanya saja ini bukan waktu yang tepat untuk menunjukkan diriku yang sama rapuhnya seperti-mu.

oh kakak....
kau bilang aku adik yang manja.
kau bilang aku adik yang cengeng.
kau bilang aku begini
dan kau bilang aku begitu
terus kau maki...
hingga kau tak menyadari
di sini, di hati ini telah terbungkus banyak benci yang keji
dimana sedang aku cari cara bagaimana untuk meredamannya.

betapa sedihnya...


Efek Gaya Hidup dan Kecanggihan Teknologi



Hmmm....

Semalam abis curhat seru gitu sama teman....awalnya gak serius nyimak ceritanya karena gue lebih serius ngerasain sensasi nikmatnya ngemilin bengbeng di tiap gigitan pertama sampai gigitan terakhir. Tapi ternyata curhatan teman gue itu adalah topik cerita yang amat menyedihkan dan layak banget buat dikupas terus. Terutama bagi kaum ibu-ibu RT (Rumah Tangga).

Setelah gue petik...

Ternyata hidup di zaman modern sekarang di satu sisi membuat tanggung jawab membesarkan anak menjadi lebih praktis dan mudah. Di sisi lain membuat banyak orang tua menilai kecerdasan anak hanya dilihat dari nilai sekolah, namun lupa bahwa anak juga perlu berjuang secara mandiri. Ironis, otak anak tidak terbiasa menemukan solusi untuk masalah kesehariannya.

Tika, kakak dari Anjas (9tahun) adalah teman baru gue. beliau merasa cemas karena belakangan ini sering ngeliat orang tuanya ngedumel dikarenakan guru disekolah Anjas mengatakan bahwa nilai pelajarannya melorot drastis.

Mama tika bingung karena sepengetahuannya, nilai tes IQ yang didapat Anjas menyatakan bahwa anaknya itu memiliki kemampuan di atas rata-rata, apalagi ditambah berbagai les untuk menunjang pelajarannya di sekolah. 

Ternyata Mama tika itu orang tua modern, ia memperbolehkan anaknya memakai gadget canggih seperti tablet dan iPad. Tujuannya selain ia bisa berkomunikasi dengan putranya di sekolah, juga agar Anjas tidak ketinggalan zaman dan bisa anteng. Namun Mama tika menyadari kalau akibatnya Anjas tidak bisa berbaur dengan temannya. Belum lagi, kalau diledek sedikit, Anjas  pasti menangis. Hanya jika sibuk dengan gadgetnya, cuek dengan sekelilingnya.

Mungkin itu menjadi permasalahan orang tua saat ini. ingin anaknya pintar, intelegennya tinggi, hingga dikursuskan bermacam jenis kursus akademik. Di sisi lain tersedia teknologi canggih, sarana anak mengeksplorasi  sekelilingnya dan menambah pengetahuan dan kepintarannya. Namun, apa benar nilai IQ yang tinggi dan melek teknologi menjadi faktor penentu kecerdasan anak yang hidup di era modern ini?

BAGAIKAN BANGUNAN KOPONG

Kisah yang diceritakan tika soal adiknya itu mungkin terdengar familiar di telinga kita. Anak-anak yang tampak cerdas  dalam mengoperasikan elektronik canggih tertentu belum tentu memiliki kemampuan bahasa yang baik, atau memiliki teman yang banyak.

Kisah di atas menggugah gue untuk surfing ke google lalu mencari psikolog online dan bertanya tentang hal yang rumit ini. bertemulah dengan Mba Ike R. Sugianto, Psi, ....... PTT (Psikolog Tenar namun Tersembunyi).... begitulah.

Beliau mengatakan, kecerdasan intelektual hanyalah satu dari beberapa macam jenis kecerdasan pada manusia. Semisal, kecerdasan emosi, dan kecerdasan gerak. Jadi, seorang anak tidak bisa dikatakan tidak cerdas hanya karena nilai ujiannya jelek. Sebaliknya, kecerdasan atau intelegensi anak terbentuk melalui beberapa tingkatan.

ONE

Attentional intelligence adalah kemampuan anak untuk fokus pada suatu hal dan mengerjakan tugas yang diberikan sampai selesai. Kemudian .....

TWO

Emotional intelligence yang berfungsi untuk mengenali dan mengendalikan emosi. Di dalamnya termasuk juga stabilitas emosi dan kemampuan  untuk mengorganisir baik itu perasaan, mengatur barang-barangnya, mengatur penampilan, pikiran, serta jadwal kesehariannya.

THREE

Informational intelligence adalah kemampuan seseorang untuk mengetahui hal, berproses, dan menalar. Nah.....

Menurut mba Ike, memang kecenderungan kecerdasan anak di era modern ini semakin menurun. Anak zaman sekarang bagaikan gedung yang berdiri tegak, namun fondasinya kopong alias bolong-bolong. Terlihat kokoh namun jika terkena suatu masalah akan mudah runtuh. Anak terbilang pintar namun tidak bisa menahan emosi, dan jika sekali mendapat nilai ujian jelek, langsung marah dan menangis.
Dalam kerangka ilmu perkembangan otak, seseorang bisa dikatakan cerdas apabila bisa fokus pada masalah sekaligus mampu mengendalikan emosi. Kecerdasan tertinggi bukan pada pernyataan “aku tahu apa ini” namun “aku tahu siapa aku ini”.

Faktor penentu kecerdasan pada umumnya ditentukan oleh gen atau latihan. Jika gen adalah bawaan seseorang sejak lahir, maka latihan adalah pengaruh lingkungan terhadap perkembangan otak anak. Dan faktor latihan inilah yang semakin hari semakin dilupakan oleh orang tua modern.

Pola hidup yang kurang bergerak secara fisik secara tidak langsung juga membuat otak tidak mendapat stimulasi yang optimal. Padahal kecerdasan bisa dikembangkan lebih optimal sejak anak usia dini. Misalkan pada bayi di bawah tiga tahun, otak terstimulasi ketika anak mulai belajar berjalan. Dimulai dari gerakan  menyeimbangkan bagian atas dan bawah tubuh untuk berdiri kemudian keseimbangan kiri-kanan, dan kemudian berjalan.

Perkembangan kecerdasan anak diicerminkan dari perkembangan motoriknya. Semakin aktif fisik anak berkolerasi positif semakin cerdas otaknya. Inilah yang jarang bisa kita lihat pada anak masa sekarang.

ANAK ERA 80-AN VS ANAK ERA 2000-AN

Tidak dapat dipungkiri bahwa anak yang lahir pada awal 2000-an memiliki beberapa perbedaan didikan dari anak yang lahir pada era 80-an. Jika diingat kembali, pada tahun 80-an anak memiliki waktu bermain yang lebih banyak dengan teman-temannya. Pada saat itu kecanggihan teknologi informasi belum mendominasi seperti sekarang.

Permainan yang lazim dimainkan-pun adalah permainan berkelompok yang mengajarkan anak bersosialisasi dengan sebaya, juga mengajarkan kepemimpinan, kreativitas, empati, kerja sama dan nilai sosial kemasyarakatan lain. Tentu saja fisik anak menjadi lebih sehat dan kuat.

Selain itu, banyak ibu yang belum memilih menjadi ibu bekerja, melainkan sepenuhnya menjadi ibu rumah tangga sehingga ibu bisa menemani anak bermain. Ibu juga tidak perlu khawatir akan bahaya fast food atau jajanan yang mengandung bahan kimia berbahaya. Karena ibu sendiri bisa memberikan nutrisi serta gizi yang baik sesuai dengan perkembangan anak.

Menginjak awal 2000-an, muncullah generasi millenium, di mana anak lahir di era kecanggihan teknologi serta tuntutan ekonomi yang tinggi sehingga beberapa ibu terpaksa bekerja untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga.

Anak millenium terjebak dalam era digital. Banyak ibu yang memberikan gadget agar anak duduk tenang dan tidak menangis. Ini bahaya, karena gerak anak menjadi terbatas, paling hanya jari telunjuk saja. Padahal pada tahun-tahun pertama, setiap 1 detik akan terbentuk 4 juta sel neuron, makanya anak harus banyak bergerak. Belum lagi gelombang elekromagnet gadget yang ditimbulkan secara lambat namun pasti membuat perkembangan otak anak terganggu.

Kecanduan gadget otomatis membuat ruang sosialisasi anak menjadi berkurang. Walaupun banyak juga yang mengatakan nilai kreativitas, kepemimpinan, dan kerja sama bisa dibangun melalui permainan elektronik dan game online, namun faktanya pengalaman yang dialami tidak akan sama jika anak merasakan sendiri.
Timbullah yang dinamakan lowtone atau hipotone, yakni otot yang lemah. Kalau zaman dulu anak belajar berjalan dengan ditatih, sekarang anak malah dibawa ke mall dalam kursi dorong.

Akibat jangka panjangnya, otot tidak bisa berkomunikasi baik dengan tulang maupun otak, jadi anak duduknya lemas, atau kalau lesehan duduknya letter W dengan kedua telapak kaki mengarah ke belakang. Ini tanda anak kurang gerak dan memengaruhi kecerdasannya.

TES IQ BUKAN SEGALANYA

Untuk meningkatkan kecerdasan, anak tentu harus belajar berpikir secara aplikatif. Artinya, solusi yang dipikirkan harus bisa diterapkan pada permasalahan yang dihadapi. Mba Ike menjelaskan bahwa proses berpikir bukanlah sebuah proses yang mudah.

Ada bagian yang disebut batang otak yang merupakan pintu masuk dari semua memori yang dihantarkan oleh panca indra. Sensori ini kemudian dibawa ke bagian otak yang mengatur tentang perasaan.

“Artinya jika proses pembelajaran menyenangkan, seperti gurunya lucu, atau anak tertarik dengan materi yang diberikan, maka perasaan dan otak akan connected, dan terjadilah pemahaman. Semakin sering di ulang maka pemahaman semakin baik. Itu baru namanya belajar.

“Sebaliknya, jika belajar dengan tertekan, akan ada beberapa informasi yang mental, karena tidak ada kesinambungan antara otak dan perasaan.”

Memang tidak dapat dipungkiri, memiliki anak yang cerdas akan membuat orang tua zaman sekarang bangga. Apalagi tidak hanya cerdas secara akademis, anak juga berprestasi di bidang seni dan teknologi.
Secara akademis, dunia psikologi mengenal berbagai macam alat tes untuk mengukur tingkat kecerdasan anak, salah satu yang kerap dijadikan acuan adalah tes Intelligence Quotient atau tes IQ.

Tingkatan IQ di atas 140 adalah kemampuan yang luar biasa (jenius), angka berkisar 100-110 adalah kecerdasan rata-rata, angka 70-90 adalah anak dengan kemampuan di bawah rata-rata, dan di bawah itu adalah anak-anak dengan keterbelakangan yang sangat rendah, yang tidak sesuai dengan umurnya.

“Tes IQ adalah tes yang sudah memiliki standar secara internasional dan diadaptasi sesuai kemampuan penduduk Indonesia. Jadi hasil tes ini akan dibandingkan apakah kemampuan kita sama atau di atas maupun di bawah rata-rata jumlah keseluruhan populasi, yakni 1.000 orang” kata mba Ike

Namun, apakah anak dengan skor IQ tinggi pasti nilai akademis di sekolahnya juga bagus?

“Belum tentu,” tandas mba Ike. “IQ 120, tapi ketika mengerjakan ujian kurang konsentrasi, jadi yang hasilnya 12 ditulis 21. Atau menemui soal sulit tapi malah panik. Jadi nilai sekolah juga tidak menjamin seseorang bisa dikatakan pintar atau tidak.”

“Secara umum, anak dikatakan pintar atau cerdas jika ia mampu menyesuaikan dan menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-harinya. Ini dinilai dari kemampuan psikis seperti berpikir mekanis, matematis, memahami, mengingat dan sebagainya, bukan hanya dari angka hasil ujian atau tes IQ.”

Mba Ike pun menegaskan, walaupun perlu untuk dilakukan, namun tujuan tes IQ bukan sebagai harga mati untuk memberi label cerdas, namun untuk mengetahui sudah sejauh mana perkembangan anak, dan potensi apa lagi yang bisa dikembangkan, karena pada dasarnya perkembangan anak masih bisa berubah sampai menginjak usia 20 tahun.

BUTUH KEHADIRAN IBU

Masalah menurunnya kecerdasan anak-anak era millenium , mau tidak mau membawa ibu menjadi sosok yag paling berpengaruh dalam hal ini, karena ibu menjadi sumber utama dan pertama bagi anak untuk belajar mengenai lingkungan dan diri sendiri. Cara paling mudah menstimulasi kecerdasan otak anak adalah dengan bermain, baik secara visual maupun dengan alam sekitar.

“Oleh karena itu, ibu harus menyediakan diri dan menyediakan waktu untuk menemani anak belajar, juga bermain. Karena dunia anak banyak berkembang lewat berbagai permainan fisik. Salah satu penyebab anak kecanduan bermain gadget atau games online karena tidak ada yang mengajaknya bermain. Akibatnya ia jadi tidak bisa menyelesaikan masalah yang nyata timbul dalam kehidupan.”

Di sisi lain, terkadanga ibu malas  mengajak anak bermain karena adanya pola berpikir main itu harus rapi dan teratur. “jadi kalau anak bermainnya berantakan, ibu senewen sendiri, atau bermainnya pakai target, jadi tebak-tebakannya harus benar, lama-lama anak menjadi bosan dan malas bermain.” Jelasnya

Lalu bagaimana dengan penggunaan gadget?

Karena dunia anak sejatinya adalah bermain, maka penggunaan teknologi canggih harus tetap dibatasi. Memang tidak mungkin jika anak tidak boleh sama sekali menggunakan teknologi seperti iPad, iPhone, tablet, playstation player, MP4 atau Blackberry karena akan membuat mereka gagap teknologi alias gaptek.

Namun, daripada melihat gambar gelas pada layar laptop, lebih baik memberikan contoh gelas yang sebenarnya. “Karena mata manusia didesain untuk melihat permukaan asli barang secara tiga dimensi, bukan permukaan gambar datar. Selain memberikan pengalaman sensor indra, hal ini juga membuat mata tidak cepat rusak.”

Meningkatkan kecerdasan anak  tentu juga harus memerhatikan kecukupan gizi sesuai masa tumbuh kembang anak. Perlu diperhatikan, penelitian di University of Adelaide menyataka pada usia delapan tahun, anak yang mengonsumsi makanan cepat saji memiliki IQ yang lebih rendah dua poin daripada mereka yang makan makanan sehat.

Maka, ibu harus turun tangan langsung untuk memastika gizi anak terpenuhi secara seimbang, karena berpikir cerdas tentu akan menghabiskan energi. Ibu diharapkan menyediakan makanan empat sehat lima sempurna, dengan bahan yang segar dan menghindari bahan berbahaya seperti bahan pewarna dan pengawet.
Gen, kecukupan gizi, aktivitas gerak, dan stimulasi materi yang baik adalah salah satu kesatuan untuk meningkatkan kecerdasan anak, dan ibu harus paham betul akan hal ini. karena ibu yang cerdas akan menghasilkan anak yang cerdas pula bukan?

Selamat memetik pelajaran.....

Senin, 24 Juni 2013

di antara Embun dan Senja

sejuk dan cemerlang, hijau dan basah
maka ku bilang dia adalah embun
sendayu dan kelabu, orange dan menenangkan
maka ku bilang dia adalah senja.
 seharusnya....